Mengawal Kebijakan Pemerintah Membingkai Kebinekaan NKRI
Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa potensi atau benih-benih disintegrasi, yang salah satunya dipicu sentimen kultural dan perasaan diperlakukan secara tidak adil, masih tersimpan. Sentimen itulah yang saat ini justru dijadikan sebagai bahan kampanye atau propaganda kelompok-kelompok separatis untuk mendapatkan simpati dan dukungan di dunia internasional.
Pemerintah secara konsisten terus mengupayakan pendekatan pembangunan dari wilayah pinggiran, pulau terluar, dan daerah terpencil untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata, sebagai bagian dari solusi permasalahan secara komprehensif.
Hal ini sesuai dengan konsep geostrategis Indonesia yang didasarkan pada kondisi, metode, atau cara untuk mengembangkan potensi kekuatan nasional yang bertujuan mengamankan dan mempertahankan kedaulatan negara Indonesia dan pembangunan nasional dari kemungkinan gangguan yang timbul di dalam maupun datang dari luar negeri.
TNI-AD sebagai alat negara juga terus berupaya mengawal kebijakan pemerintah melalui program-program satuan kewilayahan di seluruh penjuru Tanah Air.
Sebagai implementasinya, prajurit dan satuan TNI-AD juga membantu pemerintah pusat dan pemerintah daerah membangun wilayah agar semakin maju dan berkembang sesuai potensi yang ada, yang pada akhirnya akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat.
Hal ini merupakan bentuk pendekatan solusi konflik secara sosial (social approach) yang di dalamnya juga mencakup kebudayaan (culture) dan kesejahteraan (prosperity). Mindset masyarakat diubah dan digugah melalui pendekatan kesejahteraan agar sadar kembali untuk bersama-sama membangun daerah untuk mencapai kemajuan.
Muara dari itu semua ialah terlupakan dan tercabutnya benih konflik sosial hingga ke akar-akarnya untuk menuju kebinekaan dalam bingkai keindonesiaan yang indah.
Terkait dengan hal itu, secara teoretis, McFarlan (2005) memperkenalkan istilah kompetensi sosial-budaya bagi prajurit dan mendefinisikannya sebagai kemampuan untuk memahami dan beradaptasi terhadap lingkungan sosial-budaya di tempat mereka bertugas.
Sementara itu, Candler (2005) mencatat bahwa kajian mengenai urgensi kompetensi sosial-budaya bagi seorang prajurit pertama kali muncul dalam misi pemeliharaan perdamaian (MPP) PBB.
Kompetensi itu telah dijadikan sebagai salah satu muatan dalam standar modul pelatihan umum pembekalan pratugas pasukan perdamaian, agar para prajurit mampu beradaptasi dan melakukan perubahan psikologis dari budaya militer ke budaya sipil-militer dan dari budaya negara asal ke budaya negara tujuan misi.
Jauh sebelum teori itu dimunculkan secara akademis, TNI dengan jati dirinya sebagai tentara rakyat sebenarnya telah mempraktikkannya dalam berbagai penugasan operasi, baik di dalam maupun di luar negeri.
Bisa jadi, munculnya teori itu justru diilhami keberhasilan TNI yang menjadi bagian dari pasukan perdamaian PBB di berbagai belahan dunia dalam meredam dan menyelesaikan konflik sosial. Oleh karenanya, sangat ironis apabila kita justru tidak mempraktikkannya untuk menciptakan perdamaian di negeri sendiri.
Kembalinya 154 simpatisan OPM ke pangkuan NKRI yang dimediasi Koramil 1714-04/Sinak pada Maret 2017 dan 15 anggota OPM lainnya melalui Korem 173/PWJ pada awal Juli 2017 menjadi contoh munculnya kesadaran nasionalisme yang didasari keberhasilan pemerintah mengelola negara dengan pendekatan sosial.
Perhatian besar yang diberikan Presiden RI Joko Widodo terhadap pembangunan wilayah Papua dan Papua Barat dengan jalan penghubung trans-Papua, dan tekad untuk mengentaskan masyarakat dari keterisolasian maupun stabilisasi harga kebutuhan pokok, telah menggugah kesadaran mereka untuk memahami bahwa masyarakat Papua ialah bagian tak terpisahkan dari NKRI yang juga diperhatikan kesejahteraannya.
Demikian pula halnya dengan konsep ‘Emas Hijau’, ‘Emas Biru’, dan ‘Emas Putih’ yang dikembangkan di wilayah Maluku dan Maluku Utara, ialah contoh social approach yang lain untuk menyelesaikan persoalan.
Melalui program unggulan itu, Pemerintah Provinsi Maluku dan Maluku Utara bersama-sama dengan Kodam XVI/Pattimura berhasil mengubah mindset masyarakat Maluku dan Maluku Utara yang dulu terlalu sensitif terhadap hal-hal kecil yang memicu perseteruan, menjadi sibuk bersama-sama untuk mengelola potensi wilayah yang besar demi kesejahteraan masyarakat.
Di Papua, pembangunan wilayah dan stabilisasi ekonomi telah menggugah kesadaran nasionalisme para simpatisan OPM, sedangkan program Emas Hijau, Emas Biru, dan Emas Putih yang dilaksanakan di Maluku juga telah mampu membawa kesepakatan damai di antara raja-raja yang mewakili tiap desa.
Bahkan, Desa Aboru yang dahulu dikenal sebagai salah satu basis kelompok separatis RMS akhirnya dijadikan sebagai pusat upacara peringatan ke-71 Hari Kemerdekaan RI pada 2016 atas permintaan kepala desa kepada dandim.
Inilah sebenarnya makna dari pendekatan sosial (social approach) yang di dalamnya juga mencakup pendekatan budaya (culture) dan kesejahteraan (prosperity) dalam membingkai kebinekaan untuk mewujudkan kedamaian di bawah NKRI. Dalam konsep ini, pemerintah memegang peran yang dominan karena dilengkapi dengan perangkat yang memiliki tugas, kewenangan, dan kemampuan untuk membangun di segala bidang kehidupan masyarakat.
Semoga kesadaran kembalinya simpatisan OPM ke NKRI di Papua dan keberhasilan program Emas Biru, Emas Hijau, dan Emas Putih di Maluku serta Maluku Utara bisa menginspirasi seluruh komponen bangsa yang saat ini sedang dihadapkan pada banyaknya persoalan kebinekaan, untuk melupakan perbedaan sosial dan kemudian menyatukan tekad bersama-sama membangun masa depan bangsa. Dirgahayu Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Indonesia Kerja Bersama)
- MEDIAINDONESIA -
Post a Comment