Kisah Penculikan Bung karno Ke Rengasdengklok

Kisah Penculikan Bung karno Ke Rengasdengklok
Menjelang tengah malam pada Kamis, 9 Agustus 1945, sekitar 20 meter di bawah tanah, persis di bawah Perpustakaan Kekaisaran Jepang, Kaisar Hirohito berjalan pelan menyusuri lorong perlindungan. Matanya menyorotkan kesedihan dan kelelahan.

Di ruang pertemuan, sudah menunggu 11 anggota Kabinet Jepang dipimpin Perdana Menteri Kantaro Suzuki. Pertemuan itu adalah pertemuan yang sangat menentukan. Baru beberapa jam sebelumnya, pesawat Amerika Serikat B-29 Superfortress “Bockscar” menjatuhkan bom atom kedua di Kota Nagasaki.

Kaisar Hirohito menyimak penjelasan setiap menteri dengan sabar. Sekitar pukul 2 menjelang pagi, seperti dikutip The Atlantic, Perdana Menteri Suzuki memohon sesuatu yang tak pernah diajukan perdana menteri lain: amanat langsung dari Kaisar. Di negeri itu, Kaisar menempati posisi sangat tinggi, dipercaya sebagai keturunan Amaterasu, Dewi Matahari.

Dengan suara pelan, Kaisar Hirohito mengatakan Jepang tak mungkin lagi meneruskan berperang. “Sudah tiba waktunya bagi kita menanggung apa yang tak tertahankan…. Aku menelan air mataku sendiri dan memerintahkan untuk menerima proposal Sekutu,” kata Kaisar Hirohito. Lima hari kemudian, pada tengah hari 15 Agustus 1945, rekaman pernyataan Kaisar Hirohito disiarkan lewat radio. Jepang mengibarkan bendera putih dalam Perang Dunia II. Menyerah kalah.

Ribuan kilometer dari Istana Kekaisaran Jepang, desas-desus soal menyerahnya Jepang kepada Sekutu dalam Perang Dunia II beredar dari mulut ke mulut di antara pejuang kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Bagi sebagian orang, kekalahan Jepang mungkin kabar gembira. Tapi sebagian pejuang berpandangan, kekalahan Jepang sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan malah menimbulkan ketidakpastian. 

Setiap saat tentara Sekutu, di dalamnya termasuk tentara Belanda, bisa datang ke Indonesia dan mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Walhasil, Indonesia hanya beralih dari satu tangan penjajah ke tangan yang lain. Padahal, sesuai kesepakatan di Da Lat, Vietnam, antara Marshal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara, dan tiga pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia, yakni Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat, sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) baru akan diselenggarakan pada 18 Agustus 1945, masih tiga hari lagi. Aktivis-aktivis muda pergerakan tak sabar lagi. 

Pada sore hari itu juga, Rabu, 15 Agustus, D.N. Aidit mengumpulkan teman-temannya di rumah Cikini 71. Mereka segera berbagi tugas untuk menghubungi kelompok-kelompok pemuda lain, seperti Wikana dari Asrama Indonesia Merdeka, Chaerul Saleh dan Soekarni dari kelompok Menteng 31, Yusuf Kunto, Adam Malik, dan sebagainya. Mereka menghendaki Sukarno-Hatta segera memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia tanpa melibatkan PPKI. 

Soebadio Sastrosatomo dan Subianto Djojohadikusumo—paman Prabowo Subianto—dua pemuda yang dekat dengan Sutan Sjahrir, diutus untuk meyakinkan Hatta supaya menyokong proposal mereka. Tapi rupanya Hatta juga condong kepada Sukarno, menolak usulan Proklamasi tanpa PPKI. Selain menghormati PPKI, dia khawatir terhadap reaksi tentara Jepang. Bagaimanapun, meski sudah menyerah kalah kepada Sekutu, pasukan Jepang di Indonesia kala itu masih sangat kuat dan menguasai semua persenjataan.

Lebih dari setengah jam Hatta melayani tarik urat leher dengan Soebadio dan Subianto. “Di saat revolusi, kami rupanya tak bisa membawa Bung turut serta. Bung tidak revolusioner,” kata salah satu pemuda dengan nada jengkel, dikutip Hatta dalam biografinya, Menuju Gerbang Kemerdekaan: Untuk Negeriku. Hatta menjawab kalem. “Tindakan yang engkau adakan itu bukan revolusi, tapi putsch, seperti yang dilakukan Hitler di Muenchen pada 1923, tapi gagal.” Soebadio dan Subianto balik kanan dari rumah Hatta di Jalan Diponegoro, Jakarta, dengan marah.

Sekitar pukul 19.00 WIB, sesuai kesepakatan para pemuda, mereka berkumpul kembali di Laboratorium Bakteriologi di Jalan Pegangsaan untuk membahas perkembangan situasi. Ada Chaerul Saleh, Wikana, Darwis, Soebadio, Subianto, Djohar Nur, Aidit, dan sebagainya malam itu. Gagal mendapatkan dukungan Hatta, rapat pemuda memutuskan mengirim Wikana dan Darwis untuk menemui Bung Karno. Wikana alias Sunata dan Darwis sama-sama bekerja di Kaigun, Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang yang dipimpin Laksamana Muda Tadashi Maeda. 

Saat Wikana dan Darwis datang malam itu, Bung Karno sedang berbincang dengan sahabat lamanya, Sayuti Melik. Tapi Sayuti tak ikut menemui rombongan Wikana. Tanpa banyak basa-basi lagi, Wikana mendesak Sukarno agar memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada malam itu juga. “Bung, kami diutus oleh pemuda dan rakyat untuk meminta Bung Karno menentukan sikap sekarang juga. Bung tahu, Jepang sudah kalah,” kata Wikana, dikutip B.M. Diah dalam bukunya, Angkatan Baru ’45: Lembaga Perjuangan Pemuda Menentang Jepang.

Tapi Bung Karno tetap pada pendiriannya. Proklamasi harus menunggu sidang PPKI. Dia berpendapat, rencana para pemuda itu kelewat gegabah, tak menimbang risikonya. “Saya punya kawan, jadi untuk hal ini saya tidak berani mengambil keputusan sendiri,” kata Sukarno. Di tengah-tengah pembicaraan yang mulai panas, menjelang tengah malam datang Hatta, Achmad Soebardjo, Iwa Kusumasumantri, dan Samsi Djojopranoto. Soebardjo, atasan Wikana di Kaigun, ternyata satu sikap dengan Bung Karno. “Apakah kita punya cukup senjata? Sudah mampukah kita?” dia bertanya kepada Wikana dan kawan-kawan.

Kecewa berat terhadap sikap Bung Karno dan Hatta, Wikana menumpahkan kekesalannya. “Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari,” Wikana memperingatkan. Para pemuda di pelbagai kota, menurut Wikana, sudah siap merebut kekuasaan dari Jepang.

Sukarno naik pula emosinya mendengar ancaman Wikana. “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana dan sudahilah nyawaku malam ini juga. Jangan menunggu sampai besok,” kata Bung Karno, dikutip Hatta dalam biografinya. Pertemuan hingga larut malam itu tak menghasilkan kata sepakat. Mereka pulang ke rumah masing-masing.

Di Cikini 71, para pemuda gelisah menunggu kabar dari Wikana. Wikana yang baru pulang dari rumah Bung Karno ternyata tak membawa kabar gembira. Dipimpin Chairul Saleh, para aktivis muda itu memikirkan rencana selanjutnya. Ada yang usul agar mereka sendiri memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Ada yang berpendapat, agar Sukarno-Hatta dibawa ke tengah-tengah massa rakyat untuk menentukan sikap. 

Soekarni-lah, Arifin Suryo Nugroho menulis dalam Detik-detik Proklamasi, yang mengusulkan agar Bung Karno dan Hatta dibawa keluar dari Jakarta untuk menjauhkannya dari pengaruh Jepang. Usul Soekarni diterima semua orang. Menjelang subuh itu pula mereka mulai bergerak.

Hatta baru bangun untuk makan sahur saat dia menjumpai Soekarni dan beberapa pemuda sudah ada di ruang tengah rumahnya. Mereka membawa senjata lengkap. Soekarni menuturkan, karena Bung Karno tak mau memenuhi permintaan mereka, para pemuda akan bertindak sendiri. Menurut Soekarni, pada tengah hari itu juga, 16 Agustus 1945, 15 ribu pemuda dan rakyat, disokong para prajurit Pembela Tanah Air (Peta), akan menyerbu kota-kota dan melucuti kekuasaan Jepang. 

“Aku mencoba meyakinkan Soekarni bahwa yang direncanakan pemuda itu adalah fantasi belaka…. Sekalipun Jepang sudah menyerah, tentaranya di Jawa masih utuh,” Hatta menulis dalam biografinya. Soekarni menukas, ”Ini sudah menjadi keputusan kami semua dan tidak bisa dipersoalkan lagi. Bung ikut saja bersama Bung Karno pergi ke Rengasdengklok.”

Ada sejumlah versi cerita soal “penculikan” Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok di Karawang ini. Menurut Latief Hendraningrat, salah satu komandan Peta dan pengibar bendera saat Proklamasi 17 Agustus 1945, Sukarno-Hatta tak diculik. “Tapi dijauhkan dari Jakarta agar jangan dipengaruhi pimpinan militer dan pemerintah Jepang,” kata Latief, dikutip Kompas, pada 1981. Lain pula versi Jusuf Kunto, prajurit Peta yang ikut mengawal perjalanan ke Rengasdengklok, pada pagi buta itu. Menurut Jusuf, Bung Karno dan Hatta diungsikan ke luar kota demi keselamatan mereka jika revolusi pada hari itu betul-betul terlaksana. 

Dikawal oleh Soekarno, prajurit Peta, Shodancho Singgih, Jusuf Kunto, dan beberapa pemuda lain, Hatta, Sukarno beserta istri, Fatmawati, dan anaknya yang masih bayi, Guntur Soekarnoputra, berangkat ke Rengasdengklok. Menurut Hatta, sebelum masuk Karawang, mereka sempat berganti mobil. Rupanya Soekarni tak mau sopir pertama tahu ke mana tujuan mereka.

Di Rengasdengklok, rombongan itu ditempatkan di rumah Djiau Kie Siong, keturunan Tionghoa yang sudah lama tinggal di sana. “Jam 1 siang kami diberi nasi sup dari markas Peta. Bumbu mericanya sangat pedas…. Setelah itu kami tidur terpencar. Bapak di kamar dalam, Ibu di balai-balai dapur, Bung Hatta entah di mana,” Fatmawati, menuturkan kepada majalah Tempo, pada 1975.

Selama di Rengasdengklok, Adam Malik menulis dalam bukunya, Riwayat Proklamasi 1945, Soekarni kembali mendesak Bung Karno dan Hatta agar segera membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tapi Bung Karno tetap menolak. Soekarni mengutus Jusuf Kunto menemui aktivis-aktivis muda lain di Jakarta untuk merundingkan lagi langkah-langkah selanjutnya. 

“Hilang”-nya Sukarno-Hatta bikin heboh Jakarta. Padahal hari itu rencananya PPKI akan bersidang. Petinggi-petinggi Jepang dan Achmad Soebardjo kalang-kabut mencari Sukarno-Hatta. Lewat Wikana, tahulah mereka ada di mana Sukarno-Hatta. Setelah menerima jaminan keselamatan bagi Sukarno-Hatta dari Laksamana Muda Maeda, Wikana dan Chaerul Saleh baru menyetujui permintaan Soebardjo untuk membawa kembali mereka ke Jakarta. 

Dengan mobil Skoda yang sudah reot, sekitar pukul 16.00 WIB, Soebardjo ditemani Sudiro dan Jusuf Kunto berangkat ke Rengasdengklok untuk menjemput Bung Karno dan Hatta. Kepada Sukarno-Hatta, Soebardjo mengatakan tak ada kejadian apa-apa di Jakarta hari itu. Revolusi seperti yang disampaikan Soekarni tak terjadi. 

Sekitar pukul 21.00 WIB, setelah setengah harian di Rengasdengklok, Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta. Di bangku belakang, Fatmawati, yang memangku Guntur, duduk diapit Bung Karno dan Bung Hatta. Di bangku depan, Soekarni berdempetan dengan Soebardjo di samping sopir, Danuasmoro. Selesailah episode Rengasdengklok, sekitar 13 jam sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945. 


-  DETIK  -
Sign out
Baca Juga ×
Diberdayakan oleh Blogger.