Teruntuk Teman Saya yang Baru Saja Menikah

Teruntuk Teman Saya yang Baru Saja Menikah
 
Pada suatu Sabtu siang yang hening di Kota Depok, saya kaget mendapati HP saya bergetar cukup keras bak pukulan gendang yang mengiringi jari jemari saya yang tengah asyik menari di atas papan tuts komputer. Maklum, kalau pria single, HP-nya terbiasa tetap sepi-sepi saja walaupun weekend.

Ternyata telepon masuk dari salah seorang teman kerja. Lantas, saya pun menghentikan aktivitas yang lazim disebut dengan “mengetik” tersebut guna mengangkat telepon darinya.

“Halo Ton, lagi sibuk gak?” kata pria yang akrab disapa "mas Dedi" itu dengan logat ngapaknya yang khas.

“Ah enggak… biasa aja, kenapa emang?” jawab saya.

“Temenin gua beli kue buat cewek gua dong. Hari ini dia ulang tahun. Gua kagak hapal daerah Depok. Lu boncengan dah ama gua.”

Begitulah sekiranya request dari pria yang tinggal di Pamulang itu karena kebetulan pacarnya tinggal di Depok. Saya pun akhirnya menemani dia membeli kue ulang tahun, beserta lilin berbentuk angka sesuai dengan usia pacarnya, korek api, serta beberapa kuntum mawar merah. 

Setelah membeli semua barang-barang tersebut, kami pun melanjutkan perjalanan.

Di tengah perjalanan, mas Dedi tiba-tiba berkata, "Ton, lu bantuin gua lagi ya, gua mau kasih surprise nih ke cewek gua."

Ternyata, sehari sebelumnya, mas Dedi sudah berjanji untuk mau datang berkunjung ke rumah pacarnya di hari ulang tahun pacarnya tersebut. 

Akan tetapi, dia hendak berpura-pura terlebih dahulu dengan berkata, ”Say, maaf aku gak bisa datang nih kayaknya”, lalu tiba-tiba meminta pacarnya keluar pagar, dan muncul di depan rumahnya sambil membawa kue berhiaskan lilin ulang tahun dan sekuntum mawar merah. Sweet banget gak sih? Basi sih menurut saya, tapi ya sudahlah.

Hasil yang diharapkan dengan metode surprise tersebut adalah pacar yang tadinya bete akan berubah menjadi tersenyum mekar dengan kehadiran kita yang tiba-tiba tersebut. Dengan diiringi kumandang azan Salat Ashar, tibalah kami di depan rumah pacar mas Dedi yang akrab disapa "mbak Ajeng". 

Mas Dedi pun segera menelpon mbak Ajeng untuk memintanya keluar dari rumah guna menjalankan rencana selanjutnya.
Baru selangkah keluar pagar, mas Dedi berteriak, ”Surprise! Selamat ulang tahun, sayang!”

Mbak Ajeng hanya terdiam kebingungan. Mas Dedi lanjut bertanya, ”Bete gak tadi aku bilang gak bisa datang?”
“Biasa aja”. Jawab mbak Ajeng datar.

“Tadi, pas aku bilang kayak gitu, kamu terus ngapain? Pasti harap-harap cemas kan?” Lanjut mas Dedi kepo.

“Biasa aja. Habis itu langsung tidur lagi”. Jawab mbak Ajeng datar (lagi). Surprise ulang tahun yang direncanakan dadakan bak menggoreng tahu bulat itu gagal. 

Outcome berupa ekspresi yang diberikan mbak Ajeng tidak sesuai dengan ekspektasi. Begitulah realita kehidupan, sesuatu yang orang lain lakukan di TV, kadang jika kita praktikkan sendiri belum tentu sukses dan berakhir ‘manis’.

Untungnya, mas Dedi tidak bernasib sama dengan sekumpulan anak SMP di dekat rumah saya. Ceritanya, mereka hendak menemani salah seorang temannya untuk memberikan surprise ulang tahun ke pacarnya.

 Metode yang mereka lakukan adalah ramai-ramai datang ke rumah pacar temannya itu dan bernyanyi-nyanyi lagu-lagu khas ulang tahun. Bedanya, selama seharian itu dan di malam sebelumnya, kedua pasangan itu tidak saling memberi kabar. Hasilnya, seorang wanita (sepertinya kakak si pacar) keluar dan berkata,”Maaf, Ani-nya lagi gak ada di rumah”. ‘Asin’ betul.

Merasa misi telah selesai, lantas saya bergegas mengeluarkan HP untuk memesan ojek online guna mengantar saya pulang. Namun, mas Dedi membuat saya mengurungkan niat itu dengan berkata, ”Ton, hari ini lu malam mingguan bareng kita aja ya, nanti gua yang antar lu pulang. Tenang aja.”

Usut punya usut, ternyata itu adalah malam mingguan pertama mas Dedi dan Mbak Ajeng. Saya awalnya merasa tidak enak menjadi orang ketiga, atau istilahnya “nyamuk” di antara mereka. Akan tetapi, saya pikir tidak apa lah, hitung-hitung saya belajar bagaimana cara ngapel ke rumah pacar dan bagaimana cara menjalin komunikasi dengan calon mertua nanti. Lha, moso iya saya mau jomblo selamanya.

Peran saya pada hari itu adalah membantu mereka foto-foto. Bak seorang fotografer handal, saya memotret mereka berduaan memegang kue, meniup lilin, memegang bunga, dan mengabadikan momen-momen lazimnya orang berpacaran lainnya. 

Sesekali orang tua dari mbak Ajeng muncul dan bercengkerama dengan kami. Namun, ya itu tadi, karena hari pertama ngapel, mas Dedi tampak canggung. Dead air tak terelakkan. Mas Dedi sesekali menyenggol saya, memberikan kode guna membantunya untuk memecah kebuntuan percakapan dengan sang calon mertua. 

Saya kasih tahu ya, mengharapkan bantuan dari seorang jomblo untuk urusan seperti ini adalah sebuah kesia-siaan. Tahu apa kami perihal tips-tips bercengkerama dengan calon mertua?
Akhirnya, walaupun sesekali saya membantu ikut nimbrung obrolan mereka, tetapi kegiatan saya lebih didominasi makan, makan, dan minum. 

Terima kasih kepada Mbak Ajeng dan keluarganya yang telah memberikan sedikit makan dan minum untuk pria jomblo yang ‘lapar’ akan cinta dan ‘haus’ terhadap belaian ini.
Malam pun menjelang, setelah shalat Isya berjamaah di sebuah Mushalla yang tak jauh dari rumah mbak Ajeng, aktivitas selanjutnya adalah duduk-duduk sambil ngobrol-ngobrol bersama keluarga mbak Ajeng.

 Kali ini lebih intens. Dalam teras yang sempit itu, saya, mas Dedi, mbak Ajeng, beserta ayah, ibu, dan adik dari mbak Ajeng yang masih duduk di bangku sekolah dasar saling bercengkrama sambil minum teh, makan kue ulang tahun dan seloyang 


"Jodoh itu memang misterius. Kita tidak pernah tahu siapa yang akan menemani tidur kita kelak, menggantikan peran bantal dan guling. Begitu juga tentang siapa yang akan benar-benar menjadi pendamping hidup kita hingga akhir hayat nanti. Selamat mencari. Ingat! Dengan hati, bukan birahi."



Ketegangan di sore hari sudah mulai hilang, percakapan dapat mengalir lebih lancar. Mas Dedi, mbak Ajeng, dan adiknya asyik bercanda dan tertawa; kedua orang tua mbak Ajeng saling suap-suapan sambil ketawa-ketiwi; saya sesekali nimbrung, tetapi lebih fokus melahap hidangan yang disajikan sambil (pura-pura) malu-malu.

Teras rumah mbak Ajeng langsung terkoneksi dengan halaman yang dipenuhi dengan pohon manggis. Hampir setiap malam “codot-codot” (sejenis kelelawar pemakan buah) sering mondar-mondir memakan buah-buah yang ada di pohon-pohon manggis itu. Ketika ayah Mbak Ajeng saya tanya apakah beliau terganggu atau tidak dengan kehadiran mereka, beliau pun menjawab: 

“Sebenarnya sih terganggu ya, mas, tapi ya mau gimana lagi, mau diusir bagaimanapun tetap kembali lagi. Yasudahlah, biarkan saja, untung-untung beramal dengan sesama makhluk Allah.”

Jujur saya merasa terharu dengan jawaban dari ayah mbak Ajeng itu. Terlebih lagi, saya mengasumsikan diri saya tak ada bedanya dengan “codot-codot” itu yang kerjanya hanya makan apa yang ada dihadapannya. 

Ya, jomblo juga makhluk ciptaan Allah kan?
Malam semakin larut, saya yang lupa membawa kunci rumah mulai diwanti-wanti ibu saya melalui SMS bahwa ia tidak mau membukakan pintu kalau saya pulang kemalaman. 

Mas Dedi sebenarnya masih asyik bercengkrama bersama Mbak Ajeng dan adik bontotnya itu, tetapi saya, mau tidak mau, agak memaksa mas Dedi untuk mengantar saya pulang karena dia sudah terlanjur berjanji. Akhirnya, pukul 21:40 kami meninggalkan rumah mbak Ajeng dan keluarganya.

Bulan demi bulan berlalu mengiringi perjalanan cinta keduanya yang penuh suka dan duka menuju suatu upacara sakral bernama "akad nikah". Ya, kini mereka berdua telah resmi menjadi sepasang suami istri. Semoga sakinah, mawaddah, warahmah. Amin.

Hal yang unik dari hubungan mereka adalah durasi pacaran mereka tidak begitu lama. Kurang lebih hanya satu tahun. Padahal, sebelumnya mereka sempat menjalin hubungan dengan "jodohnya orang lain" selama bertahun-tahun. 

Jodoh itu memang misterius. Kita tidak pernah tahu siapa yang akan menemani tidur kita kelak, menggantikan peran bantal dan guling. Begitu juga tentang siapa yang akan benar-benar menjadi pendamping hidup kita hingga akhir hayat nanti. Selamat mencari. Ingat! Dengan hati, bukan birahi.

“Cinta, tidaklah perlu kita maknai dengan kalimat-kalimat hiperbola. Ia sederhana. Awalnya ia ada sebagai rasa, lalu, bila kita berani, ia akan berkembang menjadi kata. Dan bagi mereka yang matang, ia akan terurai menjadi laku.” - Azhar Nurun



-  KUMPARAN  - 



Sign out
Baca Juga ×
Diberdayakan oleh Blogger.